Wednesday, 26 July 2017

Masjid Dekat dan Masjid Jauh, Pilih Mana ya?


Sebagaimana diketahui bersama bahwa di antara hikmah disyariatkannya shalat berjamaah adalah untuk mempererat ikatan di antara sesama tetangga dan penduduk satu kampung. Karena dengan shalat jamaah, setiap muslim akan saling mengetahui kondisi sesama mereka, untuk selanjutnya membantu yang perlu dibantu, menjenguk yang sakit, dan mencari tahu kondisi orang yang lemah, sama seperti kesatuan dalam shalat berjamaah.
Semua hal itu, hanya tercapai jika penduduk suatu kampung shalat di satu masjid. Untuk itu, Islam mendorong setiap Muslim untuk shalat berjamaah di masjid terdekat, tidak melewati masjid terdekat untuk shalat di masjid lain, kecuali jika ada kepentingan syar’i.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, ia menuturkan, “Rasulullah SAW bersabda
لِيُصَلِ اَحَدُكُمْ فِيْ مَسْجِدِهِ وَلَا يَتْتَبِــــعِ المــَسَــــــاجِدَ
“Hendaklah salah seorang dari kalian shalat di masjidnya, dan jangan mencari-cari masjid lain.”(HR. Tabrani)
Ibnu Qayyim dalam A’lâmul Muwaqqi’în, (III/160) menjelaskan, “Melewati masjid terdekat dan pergi ke masjid lain menimbulkan dua hal terlarang dalam pandangan Islam:

Pertama, meninggalkan masjid terdekat, karena jika yang ini pergi ke masjid lain, yang itu juga begitu, tentu masjid terdekat akan sepi jamaah, khususnya jika jamaah masjid setempat sedikit jumlahnya. Padahal, memakmurkan masjid, saling membantu dalam ketaatan, dan memberi semangat orang yang malas, semua ini jelas merupakan tujuan-tujuan agung yang bisa merealisasikan firman Allah, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Al-Mâidah: 2).

Kedua, membuat imam merasa tidak suka, berburuk sangka padanya, dan memperbincangkan harga dirinya karena satu-dua faktor yang membuat orang tersebut tidak mau shalat di masjid terdekat dan lebih memilih masjid lain. Kadang si jamaah juga membuat-buat hal sebagai justifikasi tindakan yang ia lakukan, padahal imam terlepas dari semua itu. Inilah realita yang ada, karena umumnya orang yang meninggalkan masjid terdekat dan lebih memilih masjid lain secara kontinu, biasanya karena ada sesuatu antara dia dengan si imam, bukan karena kepentingan syar’i.
Dijelaskan dalam Al-Mughnî, “Jika shalat di masjid lain membuat hati si imam atau jamaah terluka, maka alangkah lebih baik jika membuat mereka senang dengan shalat bersama mereka. Jika bukan karena alasan tersebut, mana yang lebih baik, apakah menuju masjid yang lebih jauh atau yang lebih dekat?
Ada dua pendapat terkait hal ini, pertama, menuju masjid yang lebih jauh untuk memperbanyak langkah kaki demi mencari pahala sehingga kebaikan-kebaikannya kian banyak. Kedua, menuju masjid yang lebih dekat, karena ia punya banyak tetangga sehingga para tetangga lebih berhak dengan shalatnya, sebagaimana tetangga lebih berhak menerima hadiah dan pemberian tetangganya daripada orang jauh.” (Al-Mughni, III/9)
Fenomena seperti ini sering kali terjadi di bulan Ramadhan, saat orang mencari-cari masjid yang imam tarawihnya bersuara merdu, sehingga membuat masjid-masjid lain ditinggalkan dan sepi jamaah. Ini tentu saja memecah belah jamaah, melemahkan semangat, dan keinginan mereka, di samping mengalihkan kekhusyukan dan menyatunya hati dalam shalat pada suara indah imam-imam yang memiliki suara seperti itu, sehingga menyebabkan orang tidak menyukai shalat di belakang imam yang suaranya tidak bagus.

Dalam Badâ`i’ Al-Fawâ`id, Ibnul Qayyim menukil dari Muhammad bin Bahr, ia menuturkan, “Aku melihat Abu Abdullah di bulan Ramadhan, saat itu Fadhl bin Ziyad Al-Qathathan mengundang Abu Abdullah untuk mengimami shalat Tarawih. Abu Abdullah memiliki suara yang bagus. Akhirnya, sejumlah syaikh dan tetangga berkumpul hingga masjid terisi penuh.
Abu Abdullah datang lalu naik ke tangga masjid dan melihat jamaah. Ia pun bilang, ‘Apa-apaan ini? Kalian meninggalkan masjidmasjid kalian dan sengaja datang kemari.’ Abu Abdullah mengimami mereka beberapa malam saja, lalu tidak meneruskan lagi, karena tidak menyukai masjid-masjid lain kosong.’ Untuk itu, setiap orang mesti shalat di masjid terdekat.” (Badâ`i’ Al-Fawâ`id, Ibnu Qayyim, IV/149)
Namun, jika ada tujuan syar’i, misalkan imam masjid terdekat tidak menyempurnakan shalat, banyak melakukan hal-hal yang membatalkan shalat, atau lemah dalam hafalan Al-Qur’an, dan semacamnya, saat itu tidak masalah untuk shalat di masjid lain, insya Allah. Atau sesekali shalat di masjid lain yang lebih jauh untuk menghadiri pelajaran atau ceramah. Wallahu ‘alam bishshawab!

Disadur dari buku “Ensiklopedi Shalat” karya Abu Abdirrahman Adil bin Sa’ad, penerbit Aqwam, Solo

No comments:

Post a Comment