Thursday, 26 January 2017

Keutamaan Silaturahmi

Bahasan berikut akan mengangkat perihal keutamaan silaturahmi. Lalu akan ditambahkan dengan pemahaman yang selama ini keliru tentang makna ‘silaturahmi’. Karena salah kaprah, akhirnya jadi salah paham dengan hadits yang menyatakan bahwa silaturahmi akan memperpanjang umur. Lebih baik kita simak saja ulasan singkat berikut. Moga bermanfaat.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,
تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5983)
Dari Abu Bakroh, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih)
Abdullah bin ’Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
”Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari no. 5991)
Abu Hurairah berkata, “Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturrahmi dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik pada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati pada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim no. 2558)
Abdurrahman ibnu ‘Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ، وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بتَتُّهُ
“Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194, shahih lighoirihi).
Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
“Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 58, hasan)
Memang terjadi salah kaprah mengenai istilah silaturahmi di tengah-tengah kita sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits-hadits di atas. Yang tepat, menjalin tali silaturahmi adalah istilah khusus untuk berkunjung kepada orang tua, saudara atau kerabat. Jadi bukanlah istilah umum untuk mengunjungi orang sholeh, teman atau tetangga. Sehingga yang dimaksud silaturahmi akan memperpanjang umur adalah untuk maksud berkunjung kepada orang tua dan kerabat. Ibnu Hajar dalam Al Fath menjelaskan, “Silaturahmi dimaksudkan untuk kerabat, yaitu yang punya hubungan nasab, baik saling mewarisi ataukah tidak, begitu pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak.” Itulah makna yang tepat.
Wallahu waliyyut taufiq.
-
Sumber : https://rumaysho.com/1894-keutamaan-silaturahmi.html

Tuesday, 10 January 2017

Diantara Tanda-tanda Kiamat: Tampilnya Orang Fasik di Masjid


Tak ada manusia yang bisa mengetahui secara pasti kapan tiba hari kiamat. Namun, 14 abad silam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan pada umatnya berbagai tanda-tanda kiamat dalam banyak hadits.

Salah satunya adalah tanda kiamat yang terkait dengan peristiwa di Masjid, bahkan sering terjadi di Masjid-masjid yang ada di negara kita Indonesia.



Diantara Tanda-tanda Kiamat: Tampilnya Orang Fasik di Masjid
Ilustrasi
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Nu’aim disebutkan bahwa di antara tanda kiamat adalah tampilnya orang fasiq di masjid.
 
لِلسَّاعَةِ أَشْرَاطٌ " قِيلَ : وَمَا أَشْرَاطُهَا ؟ قَالَ : " غُلُوُّ أَهْلِ الْفِسْقِ فِي الْمَسَاجِدِ ، وَظُهُورُ أَهْلِ الْمُنْكَرِ عَلَى أَهْلِ الْمَعْرُوفِ

"Terjadinya hari kiamat itu ada tanda-tandanya." Rasulullah ditanya: "Apa tanda-tandanya?" Beliau bersabda: "Tampilnya orang-orang fasiq di masjid-masjid dan kemenangan pengikut kemungkaran atas pengikut kebaikan." (HR Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya')

Dikutip dari laman Jurnalmuslim, Syaikh al-Ghumari dalam Muthabaqah al-Ikhtira'at pernah menjelaskan bahwa tampilnya orang-orang fasik di masjid-masjid adalah tampilnya orang-orang kafir dan ramainya para politisi memberikan ceramah di masjid-masjid untuk kepentingan politiknya.

Dalam Al Qur’an, orang-orang kafir juga sering disebut sebagai orang-orang fasiq. Misalnya dalam Surat As Sajdah.

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَا يَسْتَوُونَ

Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama” (QS. As Sajdah: 18)

Saturday, 7 January 2017

Celaan Atas Tindakan Memecah Belah Agama


إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّـهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ ﴿١٥٩﴾
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. 6: 159).
Menurut Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak dan as-Suddi, ayat ini turun berkenaan dengan Yahudi dan Nasrani. Al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya,
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan.” Yaitu bahwa Yahudi dan Nasrani berselisih sebelum Muhammad SAW diutus, lalu mereka berpecah belah. Ketika Muhammad SAW diutus, Allah menurunkan kepadanya,
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.”
Secara zhahir, ayat ini berlaku umum untuk setiap orang yang memecah belah agama Allah dan menyelisihinya. Sebab, Allah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk memenangkannya atas seluruh agama. Syari’at-Nya satu dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Barangsiapa yang berselisih padanya, “Dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan,” yakni bersekte-sekte, seperti para pengikut aliran-aliran sesat, maka Allah telah membebaskan diri Rasulullah SAW dari apa yang mereka perbuat. Ayat ini seperti firman-Nya,
“Dia telah mensyariatkan bagimu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu,” hingga akhir hayat. (QS. Asy-Syuuraa: 13).
Dalam hadits disebutkan,
Kami para Nabi adalah saudara sebapak dan berlainan ibu, namun agama kami satu.” [HR. Al Bukhari (No. 3443).
Inilah jalan yang lurus (ash-shiraatul mustaqim), yaitu ajaran yang dibawa oleh para Rasul berupa penghambaan kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan berpegang teguh dengan syari’at Rasul yang terakhir. Adapun yang bertentangan dengannya, maka semua itu adalah kesesatan, kebodohan, pendapat dan hawa nafsu, sedangkan Rasul berlepas diri darinya, sebagaimana firman-Nya, “Tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.” Dan firman-Nya,
“Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” Sebagaimana firman-Nya,
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat.” (QS. Al-Hajj: 17). Kemudian Allah menjelaskan kelemah lembutan-Nya dalam kebijaksanaan dan keadilan-Nya pada hari Kiamat. [Syahida.com /ANW]
==
Sumber: Kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir