Dari Ma’qil bin Yasir Radhiyallahu
‘anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda:
“Tidaklah seorang hamba yang Allah memberikan kesempatan kepadanya untuk
mengatur rakyat (bawahan), tatkala (hari dimana) dia meninggal dunia, sementara
ia dalam kondisi berbuat Ghisy kepada rakyatnya, kecuali Allah akan
mengharamkan baginya surga.” (HR Bukhari nomor 6617, versi Fathul Bari
nomor 7150 dan Muslim nomor 3509, versi Syarh Muslim nomor 142)
Telah kita sebutkan bahwasanya pemimpin yang adil akan dinaungi oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat di padang Masyhar tatkala matahari
diturunkan kira-kira 1 mil. Sebaliknya, kalau ada seorang pemimpin yang tidak
adil maka dia telah melakukan dosa yang sangat berbahaya.
Kenapa? Karena ketidakadilannya. Karena kezhalimannya. Karena perbuatan
ghisy nya berkaitan dengan banyak orang. Berbuat zalim kepada satu orang dengan
dua orang berbeda, apa lagi berbuat zalim dengan seribu orang atau bahkan satu
juta orang, berbahaya!
Bayangkan! Misalnya ada seorang gubernur mengeluarkan satu peraturan yang
ternyata gubernur tersebut zalim dalam peraturannya tersebut. Misalnya gubernur
itu membuat aturan demi kemaslahatan dirinya dan peraturan tersebut memberi
kemudharatan kepada rakyat banyak, maka betapa banyak dosa yang akan dia
tanggung. Betapa banyak orang akan menuntut dia pada hari kiamat dalam
persidangan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka, seorang pemimpin (penguasa) hendaknya memikirkan hal ini, terutama
kepada saudara-saudara kita yang bekerja di pemerintahan sebagai pegawai
negeri.
Telah kita sebutkan bahwa hadis ini mencakup pemimpin yang paling utama
(raja), gubernur, kemudian juga pemimpin-pemimpin kecil baik menteri maupun
pemimpin-pemimpin lain seperti lurah, kepala bagian yang dia memiliki anak
buah, maka dia harus melakukan yang terbaik bagi anak buahnya.
Ingat! Pemimpin itu bukanlah bekerja untuk dirinya, pemimpin adalah wakil
yang ditugaskan bekerja untuk kemaslahatan rakyat. Pemimpin bekerja bukan untuk
kemaslahatan dirinya tetapi untuk rakyat.
Oleh karenanya Imam Syafi’i berkata, “Kedudukan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya seperti kedudukan seorang wali terhadap yatim.”
Kita tahu anak yatim, apabila orang tuanya meninggal dunia maka ada walinya,
misalnya Om nya atau kakaknya. Wali tersebut harus mengurus harta anak yatim
tersebut dengan baik.
Bagaimana dia mengurus yang terbaik buat anak yatim? Dalam syariat dalam
mengurus anak yatim dibolehkan seorang wali makan dari hasil anak yatim itu,
namun dia tidak boleh membohongi anak yatim tersebut, misalnya mengambil banyak
harta anak yatim tersebut sehingga anak yatim tersebut terlantar.
Apabila ini terjadi maka dia telah melakukan ghisy. Sama seperti pemimpin,
pemimpin tatkala bersikap dengan rakyat seakan-akan dia bersikap di hadapan
anak yatim. Bagaimana sikap dia?
Dia harus berusaha yang terbaik baik bagi anak yatim (rakyat) tersebut.
Apabila seorang pemimpin melakukan amalan demi kemaslahatan dirinya kemudian
dia mengorbankan kemaslahatan rakyat, maka dia terancam dengan neraka Jahannam
dan akan diharmkan surga baginya.
Oleh karenanya sebagian ulam mengatakan, “Pemimpin yang zalim (pemimpin yang
melakukan ghisy, tidak melakukan yang terbaik bagi rakyatnya atau bawahannya)
adalah yang berusaha meraih kebahagiaan pribadi dengan mengorbankan kebahagiaan
banyak orang.”
Kebahagiaan rakyat dikorbankan. Kebahagiaan masyarakat dia korbankan. Demi
untuk kepentingan pribadi (kemaslahatan pribadi). Sebagaimana dalam kaidah,
“Balasan sesuai dengan perbuatan.”
Maka pada hari kiamat kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengambil
kebahagian dia (pemimpin tersebut) karena selama di dunia dia telah mengambil
kebahagiaan masyarakat. Maka Allah akan masukan dia ke dalam neraka Jahannam
dan Allah akan haramkan baginya surga.
Ini ancaman yang sangat besar. Oleh karenanya, seorang pemimpin hendaknya
benar-benar bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga dia bisa
melakukan yang terbaik bagi rakyatnya dan dia akan memperoleh pahala yang
sangat banyak.
Menjadi pemimpin yang adil yang akan dinaungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
pada hari kiamat kelak. Dan perlu saya ingatkan kepada para pemimpin atau yang
memiliki kedudukan (jabatan) yang memiliki bawahan, bahwa seorang pemimpin
harus berusaha melakukan perbaikan (nahi mungkar).
Dan dalam melakukan perbaikan tidak mesti harus terjadi perbaikan secara
total. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa nahi mungkar ada 2 (dua)
tingkatan (martabat) yaitu:
1. Tingkatan yang pertama, ini yang terbaik, adalah merubah segala
kemungkaran menjadi kebaikan (terjadi perubahan total 100 persen). Ini yang
diharapkan, tapi tidak semua orang bisa melakukannya, tidak semua kondisi
mendukungnya.
2. Tingkatan yang kedua, mengurangi kemungkaran. Kita mungkin memiliki
jabatan dan masuk ke dalam sistem, kemudian sistem itu rusak (misalnya) ada praktek
korupsi. Banyak praktek-praktek yang haram sehingga mengorbankan masyarakat dan
yang lainnya.
Apabila kita tidak bisa merubah secara total hendaknya kita melakukan
perbaikan. Tatkala kita melakukan proses perbaikan, sesungguhnya kita sedang
bernahi mungkar dan kitapun dapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kenapa? Karena ada perbaikan yang kita usahakan.
Oleh karenanya ini yang bisa dilakukan oleh para pegawai negeri: melakukan
sesuai prosedur, melakukan perubahan demi perbaikan. Jangan sampai sebaliknya:
menyalahi prosedur, melakukan kecurangan, menerima harta haram, mengorbankan
masyarakat, menarik uang sebanyak mungkin dari masyarakat.
Ingat! Apabila dia melakukan seperti ini maka dia akan binasa kelak pada
hari kiamat. (
Inilah)
Oleh Ustadz Firanda Andirja, MA