Thursday, 30 December 2021

Sikap Pendiri NU, KH Hasyim Asyari, terhadap Gagasan Ukhuwah Islamiyah

HADRATUS  Syaikh KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama’ (NU), merupakan ulama pejuang yang memahami bagaimana cara untuk mencapai umat Muslim Indonesia yang terbaik. Ia melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia ini dengan merespon persoalan-persoalan aktual pada zamannya dengan tetap berada pada semangat mempertahankan ukhuwah Islam.

Menurut KH. Hasyim Asyari, berlebihan membela  perkara furu’ (perkara cabang dalam agama) kemudian teledor dalam perkara ushul itu tidak baik. Pada tanggal 9 Pebruari 1940 bertepatan dengan mu’tamar NU ke-XV di Surabaya Jawa Timur ia menyampaikan pidato bersejarah:

“Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perakar furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Belalah agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghinal al-Qur’an, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (Hasyim Asy’ari, al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan , hal. 33)”.

Berpegangan madzhab itu penting dan wajib, dikarenakan belum sampai pada level mujtahid.

Menurutnya, ada tiga alasan kenapa harus mengikut madzhab. Pertama, umat telah sepakat dalam memahami syariat berpegangan dengan ulama salaf tabi’in. Mereka ini berpegangan dengan syariat yang diajarkan sahabat Nabi ﷺ. Syariat tidak dapat diketahui kecuali dengan dalil naqli dan istinbath (penggalian hukum).

Kedua, sabda Nabi ﷺ yang berbunyi, ikutilah golongan terbesar. Sedangkan empat madzhab tersebut selalu menjadi kelompok mayoritas.

Sebagian besar ulama dan tokoh Islam mengikuti madzhab. Seperti dikatakan: “Kebanyakan mereka adalah ahli madzhab empat, Imam Bukhari adalah pengikut Imam Syafi’i dari jalur al-Hamidi, al-Za’farani dan Karabisi.

Begitu juga dengan Ibnu Khuzaimah dan al-Nasa’i. Imam Junaid mengikuti Madzhab Imam Tsauri. Imam Syibli mengikuti Imam Malik, al-Muhasibi mengikti Imam Syafi’i, Imam Jariri mengikut Madzhab Imam Hanafi, Abdul Qadir al-Jailani mengikuti Imam Hanbali, Imam Syadzili mengikuti Imam Malik.

Ketiga, keadaan zaman yang sudah begitu rusak, di mana sudah sulit ditemukan ulama yang benar, dan banyak orang yang tidak amanah (KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah, hal. 15).

Meskipun begitu, KH Hasyim tidak mengajarkan untuk fanatis. Menganut salah satu madzhab fikih bukan berarti fanatik, karena mengikut imam yang memiliki otoritas keilmuan merupakan hal yang sangat lazim dalam Islam sebagaimana yang dijalankan oleh para ulama terdahulu.

Tetapi bila menyesatkan madzhab fikih lain atau imam yang lain adalah tidak lazim. Maka, pendapat KH. Hasyim Asy’ari mempertahankan madzhab yang sudah ada dapat ditafsirkan sebagai usaha beliau agar tidak ada konfrontasi sosial di antara kaum Muslimin di Jawa. Sebab, madzhab (dalam hal ini Syafi’iyah) merupakan warisan pada muballigh yang datang ke Nusantara.

Ketika umat Islam dijajah oleh Belanda dan Jepang pada tahun 1900-an, berdiri organisasi-organisasi Islam dengan berbagai varian pemikirannya. Maka, di saat ini ukhuwah Islam dikedepankan oleh KH Hasyim Asy’ari.

Hal ini menjadikan perselisihan furu’ yang telah terjadi, bisa dikelola dengan baik dengan mengedepankan semangat ukhuwah.

Kepada para penganut madzhab yang jumlahnya mayoritas di Indonesia, KH Hasyim menganjurkan untuk tetap mempertahankan madzhabnya itu. Sementara kepada jamaah lain yang tidak bermadzhab untuk tidak menggugat sitem madzhab.

Jawaban terhadap penggugat madzhab telah ditulis dalam kitabnya Risalah Ahlissunnah, tujuannya supaya penggugat madzhab memahami dengan benar apa yang dianut Madzhab syafi’iyyah. Jadi jawaban beliau dalam konteks membangun tafahum (saling memahami) kepada kaum Muslim yang tidak menganut madzhab.

Jadi, penjelasan-penjelasan KH Hasyim Asy’ari tentang sistem ke-madzhaban ini bertujuan dua; internal dan eksternal. Internal untuk kalangan penganut madzhab untuk tetap bermadzhab, tetapi tidak fanatik.

Sementara secara eksternal, memberi pemahaman kaum Muslimin yang tidak bermadzhab, bahwa madzhab itu tradisi Islam yang lazim, sehingga tidak perlu digugat. Apalagi penganut madzhab di Indonesia mayoritas.

Penjajah dan Persatuan Islam

Pada sekitar tahun 1935, Belanda memainkan politik tipu muslihat. Gubernur Belanda bersikap melunak kepada pesantrennya. Pemerintah penjajah menawarkan bantuan.

Tidak cukup itu, Belanda mengumumkan akan memberikan gelar Bintang Perak kepada KH. Hasyim Asyari atas jasanya dalam mengembangkan pendidikan Islam. Tetapi gelar kehormatan dalam bidang pendidikan dan bantuan itu ia tolak.

Penjajah Belanda tidak putus harapan. Untuk kedua kalinya KH. Hasyim Asy’ari didekati dengan melakukan lobi-lobi melalui orang-orang suruhan Belanda. Menyampaikan maksud dari pemerintah Belanda akan memberikan gelar yang lebih tinggi lagi yaitu memberikan Bintang Emas.

Pemberian kedua ini pun ia tolak sekali lagi. Sebab beliau tahu bahwa pemberian gelar itu cuma akal-akalan Belanda supaya beliau jinak kepada penjajah asing.

Pemikiran demikian yang hendak dibangun untuk menyambung persaudaraan muslimin di saat kaum muslimin dijajah asing. KH. Hasyim Asy’ari adalah pejuang yang dikenal tidak pernah mau tunduk kepada penjajah Belanda dan Jepang meski beliau sering membujuknya.

KH Hasyim Asy’ari pernah menyampaikan pidato tegas dalam acara pertemuan ulama seluruh Jawa Barat di Bandung. Ia mengatakan:

“Kita seharusnya tidak lupa bahwa pemerintahan dan pemimpin mereka (Belanda) adalah Kristen dan Yahudi yang melawan Islam. Memang benar, mereka seringkali mengklaim bahwa mereka akan netral terhadap berbagai agama dan mereka tidak akan menganak emaskan satu agama, akan tetapi jika seseorang meneliti berbagai usaha mereka untuk mencegah perkembangan Islam pastilah tahu bahwa apa yang mereka katakana tidak sesuai dengan apa yang mereka praktekkan. Kita harus ingat bahwa Belanda berusaha agar anak-anak kita menjauhkan mereka dari ajaran-ajaran Islam dan mencekoki mereka dengan kebiasaan buruknya. Belanda telah merusak kehormatan Negara kita dan mengeruk kekayaan. Belanda telah mencoba memisahkan ulama dari umat. Dalam berbagai hal, Belanda telah merusak kepercayaan umat terhadap ulama dengan berbagai cara” (Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asy’ari, hal. 294).”

Apa yang diinginkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dari semua sikapnya ini adalah supaya bangsa Indonesia bisa hidup mandiri, bebas dari intervensi asing, dan membangun negara yang adil dan beradab. Dalam keadaan umat Islam diserang dan dipojokkan terus oleh penjajah, maka KH. Hasyim Asy’ari membangun jaringan intelektual dan ulama Muslim untuk menyatukan muslimin dalam satu wadah.

Sebab, untuk membangun kekuatan bangsa Indonesia, diperlukan jaringan intelektual Muslim sebagai penggerak.  Bagi KH. Hasyim Asy’ari,  para intelektual Muslim, jangan sampai terpecah tapi harus menyatu.

Indonesia akan lemah jika intelektual Muslim lemah. Pada tahun 1944, beberapa tokoh Islam mengangkat KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang komponennya dari beberapa organisasi Islam di Indonesia.

Ketika keadaan umat Islam Indonesia terjadi perpecahan pada masa penjajahan. KH. Hasyim Asyari tetap mengusahakan untuk membuat persatuan di antara mereka. Jika umat Islam — sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia —  terpecah, maka akan berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Apalagi Indonesia masih sedang dalam cengkeraman penjajah. Jadi persatuan Indonesia, harus diasaskan terlebih dahulu oleh persatuan umat Muslim Indonesia. Persatuan menurut KH. Hasyim Asy’ari harus dibangun di atas dasar keikhlasan dan kesadaran individu. Selain itu, perlu adanya kesadaran berdasarkan agama yang satu yaitu Islam (Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asy’ari, hal. 294).*

Penulis peneliti InPAS dan dosen di INI-Dalwa, Bangil, Pasuruan

Wednesday, 24 March 2021

Namimah : Perusak Solidaritas

 Ada sebuah hadits Dari Ibnu Abbas, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, menceritakan bahwa  ketika Rasulullah saw. melewati sebuah kebun di Madinah atau Mekah beliau mendengar suara dua orang yang sedang menangis karena disiksa dalam kuburnya. Nabi bersabda, "Keduanya sedang disiksa  karena masalah yang sulit untuk mereka tinggalkan". Kemudian beliau kembali bersabda, "Mereka tidaklah disiksa karena dosa yang mereka anggap dosa besar. Orang yang pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri. Sedangkan orang kedua suka melakukan namimah". (HR. Bukhari).🌿


👉 Berkata Imam Nawawi men-syarah hadits di atas, "Para ulama menjelaskan namimah adalah menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara mereka". Jadi,  Namimah adalah adu domba atau provokasi. Namimah bisa berbentuk ucapan, bisa pula dalam bentuk perbuatan. Segala bentuk ucapan yang menjurus agar seseorang membenci atau menyakiti orang lain, termasuk namimah.

Namimah bisa berakibat rusaknya hubungan atau persaudaraan sesama muslim. Akan ada benih kebencian dan dendam pada diri seseorang bila ia termakan namimah orang lain. Dampak lebih jauhnya, perselisihan semakin meruncing. Bukan hanya kerusakan diri, bisa jadi kerusakan materi pula bila terjadi perkelahian atau kontak fisik. 🌺


✍️ Suatu saat Imam Syafi’i didatangi seseorang yang menyampaikan kepadanya bahwa sesungguhnya si fulan dalam suatu pertemuan telah mengatakan begini dan begitu tentang engkau wahai Imam. Lalu Imam Syafii mendatangi orang yang menceritakan sang imam itu dalam  majlis. Apa yang dilakukan oleh Iman Syafi’i ? Ia menyampaikan terima kasih kepada si fulan. Orang yang melaporkan ke Imam Syafii itu merasa heran dan bertanya-tanya kenapa justru dia mendatanginya. Imam Syafii mengatakan “saya telah menyampaikan terima kasih kepadanya karena sesungguhnya ia telah melimpahkan kebaikannya ke dalam timbangan kebaikanku tanpa saya harus berbuat kebaikan dan kejelekan saya telah dilimpahkan kepadanya”. Itulah salah satu resiko yang harus ditanggung jika kita suka menceritakan aib orang kepada orang lain. Menurut sejumlah ulama bahwa ketika seseorang menggunjing, mengadu domba dan memutarbalikkan fakta maka itu adalah wujud dari lemahnya keimanan orang tersebut. Dalam Islam perbuatan tersebut dinamakan sebagai Namimah. 🍁


👉 Namimah adalah perbuatan yang diharamkan dalam agama dengan berbagai dalil dari Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw antara lain sebagai berikut:


قال رسول الله صلي الله عليه وسلم  ” لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ ” رواه البخاري ومسلم. 

Artinya; Tidak akan masuk surga orang-orang yang suka mengadu domba (namimah).


قال تعالى : وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ . هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (سورة القلم:) 10،11 

Artinya; Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, Yang suka mencaci, lagi yang suka menyebarkan fitnah hasutan (untuk memecah belahkan orang ramai) 🎋


✍️ Seorang muslim sejatinya menjunjung tinggi prilaku yang terpuji, baik dari segi tingkah laku maupun komunikasi dengan orang lain. Dan pada waktu yang sama menghindari perilaku negatif seperti menggunjing dan mengadu domba karena hal yang demikian itu sangat berbahaya terhadap kehidupan seseorang. Akibatnya bisa merusak hubungan persaudaraan antara satu dengan yang lain, merusak kerukunan hidup seseorang, dan menimbulkan kondisi masyarakat yang tidak kondusif, dan yang lebih parah lagi dapat mengakibatkan pembunuhan atau konflik antara sesama.🙏