Dalam suatu riwayat, salah satu sahabat Rasul yang terbaik yaitu Abu Darda r.a bertanya kepada sahabat-sahabatnya yang lain dengan kalimat, “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang suatu amalan yang lebih utama dibandingkan dengan sedekah dan menjalankan ibadah puasa?”
Para sahabat pada jaman Rasul dan sesudahnya memang sangat antusias jika ada sebuah nasehat yang menyangkut pahala akhirat. Beda dengan jaman sekarang yang sekedar untuk tahu saja tidak tergerak hatinya. Wahai kaum muslim ! Adakah diantara kalian yang ingin mengetahui untuk selanjutnya bisa mengamalkan nasehat dari Abu Darda tersebut?
Bukan merupakan rahasia jika bersedekah merupakan sebuah ibadah yang sangat tinggi pahalanya di sisi Allah. Dengan bersedekah, maka Allah melipatgandakan rezeki kita hingga 700 kali lipat. Bersedekah juga menjadi jalan keselamatan bagi seorang manusia dari panasnya api neraka. Kita juga tahu bahwa dengan bersedekah, maka Allah akan menyelamatkan kita dari mara bahaya dan mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang diderita.
Sementara ibadah puasa atau shaum entah itu puasa wajib ataupun sunat merupakan ibadah yang bernilai setengah kesabaran. Banyak keterangan yang menyebutkan bahwa dengan berpuasa akan menjadi salah satu jalan syafaat bagi penggiatnya di hari kiamat nanti. Berpuasa juga menjadi sarana untuk terhindar dari dosa, maksiat dan siksa api neraka. Lalu berpuasa juga menjadikan tubuh menjadi sehat luar dan dalam.
Dan tahukah engkau wahai saudaraku, Bahwa ternyata ada satu amalan yang lebih utama dibandingkan dengan kedua amalan ibadah yang tinggi pahalanya tersebut.
Seperti apakah ibadah atau perbuatan yang lebih baik dari bersedekah dan berpuasa yang dimaksud?
Abu Darda kemudian melanjutkan nasehatnya,
“Yaitu mendamaikan diantara yang tengah berselisih karena kebencian merupakan penghalang darti mendapatkan pahala.”
Perkataan ataupun nasehat yang disampaikan oleh sahabat Abu Darda bukanlah sebuah perkataan yang kontan keluar dari lisan Abu Darda, namun merupakan kutipan dari Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dimana Rasulullah SAW bersabda,
“Maukah aku beritahukan kepada kalian suatu amalan yang lebih utama dari derajat mereka yang berpuasa, shalat dan bersedekah?”
Para sahabat pun menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.”
Kemudian Rasul melanjutkan perkataannya, “
(ialah) mendamaikan seseorang yang berselisih. Karena sesungguhnya kerusakan dari perselisihan adalah terhalanginya seseorang dari mendapatkan pahala.”
Mengomentari hadits diatas, Dr Muhammad Ali Hasyimi menjelaskan bahwa kebencian dapat menghapus segala amal kebaikan, dijauhkannya pahala dan lenyapnya kebaikan-kebaikan.
Subhanallah.... semoga kita semua bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari entah itu di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di lingkungan pekerjaan dengan segala kemampuan terbaik yang dimiliki.
Wallahu A'lam
Sumber : KabarMakkah.com
Laman
▼
Friday, 25 August 2017
Monday, 14 August 2017
Tidaklah Beriman Seseorang Jika Tetangganya Tak Merasa Aman dari Gangguannya
Sobat , sebagai makhluk sosial tentunya kita harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain. Saling membangun komunikasi dan belajar menciptakan hubungan yang baik serta harmonis.
Bukan hal mudah memang, apalagi setiap orang memiliki pemikiran dan karakter yang berbeda. Untuk itu, harus ada sikap saling memahami antata satu orang dengan yang lainnya.
Bukan tanpa alasan ya Sob, sebab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetanggalah orang yang paling memungkinkan untuk kita mintai pertolongan pertama.
Di dalam Islam sendiri, menjaga hubungan baik dengan tetangga merupakan salah satu hal yang penting. Bahkan, jika masih ada tetangga kita yang tersakiti entah karena ucapan dan perbuatan yang kita lakukan, maka kita tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan orang yang beriman.
عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
Dari Abu Syuraih bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman." Ditanyakan kepada beliau; "Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?" beliau bersabda: "Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya." (HR Bukhari No 557)
Pastinya kita semua maunya ingin termasuk menjadi orang yang beriman dong Sob? Oleh makanya, nggak ada salahnya nih kita saling memberikan hadiah atau sesuatu yang bermanfaatlah ya kepada tetangga-tetangga kita.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai para wanita muslimah, janganlah antara tetangga yang satu dengan yang lainnya saling meremehkan walaupun hanya dengan memberi kaki kambing. (HR Bukhari No 5558)
Wallahua'lam bishowab.
Semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik ya Sob.
Sunday, 6 August 2017
Apa Ancaman Allah Kepada Orang yang Dzolim?
Salah satu tanda akhir zaman adalah kejahatan yang semakin merata dan kedzoliman yang semakin merajalela. Hati manusia seakan tak memiliki penghalang untuk menindas sesama. Apa yang telah terjadi? Apa yang sebenarnya dicari?
Tidak semua orang berniat untuk mendzolimi atau menyakiti seseorang, tapi mereka yang menjadi korban selalu merasakan. Lalu, apa ancaman Al-Qur’an kepada orang-orang yang dzolim?
Apa ancaman Allah kepada mereka?
– Membencinya –
وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ -٥٧-
“Dan Allah tidak menyukai orang zalim.” (Ali Imran 57, 140 dan Asy-Syura 40)
– Memusuhinya –
أَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ -١٨-
“Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim.” (Huud 18)
– Ancaman Neraka –
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ -٢٢-
(Diperintahkan kepada malaikat), “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah.” (Ash-Shaffat 22)
وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَباً -١٥-
“Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan bakar bagi neraka Jahannam.” (Al-Jinn 15)
– Mengharamkan Syafaat Bagi Mereka –
مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ -١٨-
“Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” (Ghofir 18)
– Ancaman dengan Siksaan di Dunia –
فَتِلْكَ بُيُوتُهُمْ خَاوِيَةً بِمَا ظَلَمُوا -٥٢-
“Maka itulah rumah-rumah mereka yang runtuh karena kezaliman mereka.” (An-Naml 52)
وَسَكَنتُمْ فِي مَسَـاكِنِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ أَنفُسَهُمْ وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ -٤٥-
“Dan kamu telah tinggal di tempat orang yang menzalimi diri sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah Berbuat terhadap mereka.” (Ibrahim 45)
– Sulitnya Sakaratul Maut –
وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلآئِكَةُ بَاسِطُواْ أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُواْ أَنفُسَكُمُ -٩٣-
“(Alangkah ngerinya) sekiranya engkau melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam kesakitan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu.” (Al-An’am 93)
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلاً -٢٧-
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.” (Al-Furqon 27)
– Allah Tidak Akan Melupakan Perbuatan Mereka Walau Tidak Langsung Menurunkan Siksaan –
وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأَبْصَارُ -٤٢-
“Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah Menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (Ibrahim 42)
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang dzolim.
sumber : khazanahlquran.com
Friday, 4 August 2017
Adakah Shalat Sunnah Qabliyah Jumat?
Di antara sunnah ketika menghadiri shalat Jumat adalah memperbanyak shalat sunnah. Selain shalat tahiyatul masjid, kita juga dianjurkan untuk memperbanyak shalat sambil menunggu datangnya Imam atau Khatib. Namun sebagian kalangan menganggap shalat ini adalah shalat sunnah rawatib sebelum Jumat, layaknya shalat sunnah waktu Dhuhur. Lalu bernarkah demikian? Berikut kami kutib pendapat para ulama dalam menjawab persoalan ini.
Dalam kitab Al-Jumu’ah; Âdâb Wa Ahkâm, Syaikh Abu Al-Mundzir As-Sa’idi berkata; Berkenaan dengan shalat Sunah sebelum (qabliyah) shalat Jumat, shalat tersebut tidak ada menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat di kalangan para ulama, yaitu pendapat Imam Malik, Ahmad dalam pendapat yang masyhur, dan salah satu pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Akan tetapi, yang disunahkan ialah melakukan perkara-perkara sunah yang bersifat umum.
Yang demikian ini selaras dengan hadits Salman Al-Farisi, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى
”Tidaklah seorang muslim mandi pada hari Jumat, bersuci dengan sebaik-baiknya, mengoleskan minyak, atau memakai wangi-wangian yang ada di rumahnya. Lalu berangkat menuju masjid dan ia tidak menceraiberaikan hubungan baik dua orang saudaranya. Kemudian ia melaksanakan shalat semampunya, dan ketika imam membacakan khutbah ia diam, melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya antara satu Jumat ke Jumat berikutnya’.” (HR. Bukhari)
Yang dijadikan dalil dari hadits ini ialah lafal, “Kemudian ia melaksanakan shalat semampunya.” Maknanya adalah shalat sunnah secara mutlak. Artinya shalat sunnah yang dikerjakan semampu mungkin dengan bilangan yang tidak terbatas.
Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa contoh yang dipraktekkan oleh ulama salaf. Sebuah riwayat dari Naafi’ menyebutkan bahwa Dahulu Ibnu Umar mengerjakan shalat sunnah sebelum Jum’at sebanyak 12 raka’at.” (Fathul Bari, 8/329).
Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata:
وأما سنة الجمعة التي قبلها فلم يثبت فيها شيء
“Adapun shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2/426)
Pendapat ini dikuatkan juga oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,
وكان إذا فرغ بلال من الأذان أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة ، ولم يقم أحد يركع ركعتين البتة ، ولم يكن الأذان إلا واحدا ، وهذا يدل على أن الجمعة كالعيد لا سنة لها قبلها ، وهذا أصح قولي العلماء ، وعليه تدل السنة ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج من بيته ، فإذا رقي المنبر أخذ بلال في أذان الجمعة ، فإذا أكمله أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة من غير فصل ، وهذا كان رأي عين ، فمتى كانوا يصلون السنة ؟
“Jika Bilal telah mengumandangkan adzan Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua raka’at kala itu. (Di masa beliau), adzan Jum’at hanya dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti Shalat ‘Ied yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qabliyah sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat sunnah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan waktu melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jumat tersebut)?”(Zaadul Ma’ad, 1/422)
Jadi, menurut pendapat jumhur, memperbanyak shalat sunnah yang dimaksud adalah sunnah secara mutlak, bukan sunnah rawatib qabliyah Jumat. Jumlahnya pun tidak terbatas dua rakaat, tapi boleh dilakukan semampu mungkin selagi khatib belum naik ke atas mimbar. Wallahu a’lam bis shawab!
kiblat.net